Dalam beragam kesempatan saya melakukan perbincangan dengan ibu-ibu, terkuaklah cerita yang tersembunyi serta tidak sering disibakkan mereka, lantaran cemas dikira mereka tak ridho dengan pemberian suami. Dengan cara tersirat, bahkan juga terdapat banyak yang menyebutkan bila mereka tak di beri ‘keadilan’ suaminya terkait dengan pemberian nafkah yang layak.
Nafkah suami yaitu hal yang paling utama dalam satu pernikahan. Tak tahu nafkah lahir yang terkait dengan pemberian beberapa duit atau barang untuk kepentingan keseharian istri tersebut keluarganya, ataupun nafkah yang terkait dengan rasa aman, nyaman atau jalinan semestinya suami istri.
Dari sebagian diskusi, terkuaklah bila beberapa istri ini mengeluhkan banyak hal, satu diantaranya pemberian nafkah yang kurang layak untuk mereka, walau sebenarnya suami begitu berkecukupan, ada juga lantaran sang istri juga bekerja, jadi suami memberi nafkahnya dengan cara ala kandungannya, lantaran terasa ‘istri mesti untuk hasil’ untuk cukupi keperluan tempat tinggal tangganya yang pada akhirnya pembagian memenuhi keperluan rumah tangga jadi “tak adil”, istri nyatanya tempati jumlah paling banyak memenuhi keperluan rumah tangga. Hingga ada juga istri yang mengeluh sekalipun tidak diberikan nafkah lahir lantaran terkait tak harmonisnya rumah tangga mereka.
Sesungguhnya Islam melihat nafkah untuk istri ini seperti apa? Bila beberapa suami meneliti satu saja ayat Al Qur’an pasti ia bakal mengerti manfaatnya sebagai kepala rumah tangga. “Wajib untuk tiap-tiap suami untuk memberi nafkah serta baju pada istri, dengan sepantasnya. ” (Q. S. Al-Baqarah : 233)
Harus di sini memiliki kandungan pengertian simpel tetapi tegas, bila tidak ada yang lebih layak menafkahi istri serta anak-anaknya, memberi baju, perumahan, mencukupinya makan serta sebagian keperluan pokok yang lain, tetapi semua dalam tanggungan suaminya. Bila suami dalam keadaaan kurang dapat memikulnya, jadi bila istri bekerja untuk menolong memenuhi keperluan keluarganya, jadi itu terhitung sebagai sedekah untuk keluarga, bukanlah sebagai ‘pemberi pokok’, terkecuali bila suami sakit keras atau tak ketahuan dimana keberadaannya, atau dalam kondisi darurat yang lain, seperti lantaran satu hal mesti mendekam di penjara.
Apabila tidak ada hal penyulit atau darurat seperti itu, suami yaitu orang yang dapat bekerja dengan baik serta membuahkan duit yang begitu cukup, jadi ia harus memberi nafkah dengan cara layak pada istri serta keluarga. Tengah suami yg tidak memberi nafkah pada istri dengan tak layak walau sebenarnya ia dapat memberinya, jadi suami sudah lakukan perbuatan zalim pada istrinya. Serta tentunya zalim itu yaitu perbuatan dosa.
Lantas, bagaimana baiknya istri menanggapi hal semacam ini, serta bagaimana sesungguhnya Islam melihat persoalan tentang nafkah ini?
1. Suami harus memberi nafkah pada istri, baik lahir ataupun batin. Melalaikan hal semacam ini bermakna perbuatan zalim, memungkiri ayat-ayat Allah.
2. Bila suami bakhil, pelit pada istrinya serta tak memberi nafkah itu dengan cara layak, walau sebenarnya ia dapat memberinya, serta suami cuma menumpuk harta serta kekayaannya untuk kebutuhannya sendiri serta melalaikan kebutuhan pokok istri serta keluarganya, jadi hal itu begitu jadi perhatian Rasulullah :
Dari ‘Aisyah kalau Hindun binti ‘Utbah berkata : “Wahai Rasulullah, sebenarnya Abu Sufyan (suamiku,
Pen) seseorang lelaki yang bakhil. Dia tak berikan (nafkah) kepadaku yang memenuhi saya serta anakku, terkecuali yang saya ambillah darinya sedang dia tak tahu”. Jadi beliau bersabda : “Ambillah yang mencukupimu serta anakmu dengan pantas. ”HR Bukhari, no. 5364 ; Muslim, no. 1714
Hadits itu menyaratkan, sesungguhnya ada sisi dari istri untuk harta suami untuk nafkahnya juga kehidupan keluarga serta jumlahnya juga sewajarnya. Istri bahkan juga bisa mengambil harta suami tanpa ada izin, sesuai sama kebutuhannya.
3. Syaikh Shalih bin Ghanim as Sadlaan bahkan juga memberi komentar dengan cara spesial tentang masalah suami pelit pada istrinya, beliau berkata “Memang ada keharusan nafkah untuk istri. Serta nafkah itu diukur apa yang dapat memenuhi istri serta anak-anaknya dengan memberinya dengan cara ma’ruf yang bermakna nafkah itu diberikan dengan cara pantas, biasanya serta baik”. Setelah itu ia memberikan bila suami tak memberi dengan cara pantas jadi istri bisa mengambil harta suami tanpa ada sepengetahuan atau izinnya tetapi juga dengan cara ma’ruf.
4. Mengambil harta suami tanpa ada sepengetahuan bila suami pelit ini memanglah ada rambu-rambunya, jadi mesti dengan ma’ruf yaitu tidak berlebih-lebihan sebatas cukup untuk penuhi kebutuhannya.
5. Bila Suami tak dapat memberi harta lantaran dalam kesulitan atau kemiskinan, jadi istri disarankan untuk ridha sekalian bersabar dengan itu, serta baiknya istri menolong untuk mencari nafkah keluarga.
6. Istri yang bekerja serta memiliki pendapatan, bila ia memberi pendapatannya untuk menolong kepentingan keluarga, jadi itu cuma untuk sedekah saja, serta itu tetaplah jadi pendapatan serta harta istri, tidak ada keharusan (sesungguhnya) dalam menolong keluarga dengan duit atau harta itu, sampai suami sesungguhnya sekalipun tak bisa kuasai harta atau mengambil harta istrinya tanpa ada izin istrinya.
Hal semacam ini diperkuat dengan dalilnya : hadis dari Abu Said Al-Khudri, kalau satu saat, Zainab (istri Ibnu Mas’ud) akan membayar zakat perhiasan yang dia punyai. Lalu beliau ajukan pertanyaan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Bolehkah istri memberi zakatnya pada suaminya serta anak yatim dalam asuhannya?
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya, silahkan. Dia memperoleh dua pahala : pahala melindungi jalinan kekerabatan serta pahala bersedekah. ” (HR. Bukhari 1466)
Dalam soal ini tersirat bila keadaan di atas mengisyaratkan bila istri Ibnu Mas’ud begitu kaya raya, serta suaminya yaitu orang miskin.
Ini tunjukkan bila Ibnu Mas’ud sekalipun tak kuasai harta istrinya, walau dia yaitu seseorang yang miskin. Serta Istrinya juga mempunyai dedikasi baik, dapat dibuktikan untuk memberi beberapa hartanya sebagai zakat maal untuk suaminya itu. Jadi begitu terang keharusan nafkah itu sesungguhnya ada di pundak suami.
Teman dekat Ummi dari uraian diatas itu jelaslah bila keperluan nafkah itu memanglah keharusan suami, melalaikan keharusan itu yaitu suatu hal yang zalim. Bila istri bekerja, itu memanglah lakukan pekerjaan untuk menolong penuhi keperluan rumah tangga atau untuk mengaplikasikan ilmunya serta menolong sesamanya.
Pendapatan istri yaitu mutlak punya istrinya. Bila ia membagi pendapatan itu untuk keluarga, itu sebagai sedekah baik untuk dia, suami dilarang mengotak-atik harta istri tanpa ada ridhanya, bahkan juga demikian sebaliknya istri tidak butuh memerlukan ridha suami waktu suami melalaikan nafkah keluarga serta istri waktu ia berpunya, atau dapat menafkahi dengan layak, dengan catatan mesti dengan ma’ruf, mengambil sesuai sama keperluan.
Cepatlah bertobatlah suami-istri jika keduanya telah berbuat tak ma’ruf dalam kehidupan rumah tangga dalam permasalahan nafkah, karenanya kezaliman yang sangat dekat dengan neraka.